Minggu, 28 Februari 2016

The Little Prince

[keluar dari tumpukan revisi]

Tiga temen gue udah wisuda. Tiga lainnya udah nikah. Sekitar delapan orang udah seminar pra. Sementara gue masih begini-gini aja, lari dari kepahitan dan kepusingan sambil nulis entri baru buat blog.

Beberapa hari lalu gue nonton The Little Prince.. dan seperti biasa.. banyak hal yang bikin gue mikir kesana kemari. Selalu ada beberapa sisi setelah kita melihat segala sesuatu dari berbagai segi. Selalu.

Pertama gue kenal buku The Little Prince itu milik kakak sepupu gue. Edisi bahasa Indonesia yang terlalu mumet untuk dipahami sama anak umur 10 tahun. Tahun dan tahun berlalu, setelah gue mulai bisa dan biasa baca buku bahasa Inggris, gue penasaran sama buku tersebut dan baca edisi bahasa Inggrisnya di internet. Tiap chapter dengan rajin gue baca sebelum tidur. Kata-kata yang indah gue kutip. Kadang gue tulis ulang di catatan.

Karena penasaran, gue akhirnya baca buku edisi bahasa Indonesia. Singkat, mungkin dua / tiga jam selesai. Tapi gue masih lebih suka edisi bahasa Inggris. Dan mungkin kalo gue bisa bahasa Prancis (ngarep dulu yha) gue akan lebih suka itu.

Sebetulnya waktu trailer filmnya release gue bertekad dengan segala daya dan upaya harus nonton di bioskop. Karena banyak yang gatau filmnya, rata-rata temen nolak, dan karena jadwalnya agak miss sama jadwal gue akhirnya gue gak nonton juga. Yah, yaudah. Ngobatin sedih, gue dengerin soundtracknya, yang parararipurura itu (lupa judulnya apa) sama yang milik Gabrielle Aplin.

Ada satu temen nawarin ngopi film tersebut sekitar sebulan kemudian tapi guenya males jalan karena waktu itu lagi sibuk apa, gitu. Mau download sendiri juga mager. Akhirnya gue ngopi sama temen kampus seminggu lalu secara kebetulan, barter sama program SPSS yang nangkring di laptop gue sejak entah kapan.

Oiya, balik lagi. Ada beberapa pikiran, renungan tentang film itu. Intinya disitu.

Satu. Mungkin benar bahwa di mata kanak-kanak, orang dewasa itu membingungkan. Penuh dengan kehati-hatian yang tidak jelas makna dibaliknya apa. Terutama rutinitas. Rutinitas adalah bagian dari kehidupan. Makan, tidur, kerja, kuliah / sekolah—gak ada waktu have fun dengan diri sendiri. Ga ada lagi waktu-waktu baca novel sambil begadang-begadang. Kita terlalu sibuk begadang untuk kerjaan dan mengabaikan kesenangan diri kita. Kita lelah. Kemudian mencari kesenangan yang juga berupa rutinitas lain, window shopping di mall, stuffing good food di mulut, ketika kita tahu; bahwa yang kita butuhkan adalah waktu refleksi, being alone with your own self, being comfy in your very own shell, self.

Banyak pertanyaan, seperti mau kerja dimana, mau lulus kapan, gimana revisi. Dan lain-lain. Dan. Lain. Lain.

Dua. Bagian paling gue suka dari The Little Prince adalah tentang membangun ikatan (to establish ties), tentang berteman, tentang meletakkan kepercayaan pada seseorang, tentang cinta. Sekarang, hal semacam itu terasa makes sense. Ketika pertemanan atau hubungan bukan lagi terjadi begitu saja. Ada keperluan bahwa hubungan manusia antar manusia itu memang harus dijaga dan dipertahankan. Baik dengan teman, kolega, pacar, juga keluarga. Gue suka bagaimana The Little Prince menggambarkan ke-universal-an perasaan. Bahwasanya, perasaan itu bukan lagi hal yang rumit, melainkan jelas polanya meskipun berada dalam bentuk yang berbeda-beda.

(Yaiyalah kan ga mungkin juga di dunia nyata gue temenan sama rubah dan punya kekasih hati yang ephemeral laiknya bunga mawar) (Mungkin juga sih, kenapa lumut itu unik buat gue sementara yang lain engga soale gue telah putting effort to understand them all too well) (Yha) (Kemana-mana) (Ya inilah paradoks mahasiswa biologi)

Kemudian tentang indahnya perasaan. Ada sesuatu tentang angkuhnya mawar yang tetap membuat ia tetap harus dicintai, ada suatu kecurigaan tentang rubah yang tetap membuat ia tetap jadi teman dari si Pangeran. If you love someone’s good sides, you have to withstand their bad sides too. Karena orang-orang terdekat lo selalu datang dalam paket lengkap yang didalamnya ada baik dan buruk sekaligus. Kalo kata buku detektif lama yang duluuu banget gue baca: “Orang itu bukan sekaleng cat yang kalau putih, putih semua dalam satu kaleng. Atau hitam, hitam semua dalam satu kaleng. Orang ya pasti selalu punya banyak sisi, bahkan lebih dari sekedar hitam atau pun putih.”

(Sepakat. Way to describe people is: Hundred shades of grey)

Dan tangisan. You run the risk of weeping a little, if you let yourself get tamed. Itulah yang terjadi di beberapa bagian dari hubungan emosional. We get emotional. We cry, a lot, a little. We just can’t help it. We get sad when they’re sad, sick, also tired. Bahwa kesedihan adalah efek samping yang terjadi ketika membangun sebuah hubungan. Bahwa kesedihan adalah hal nyata ketika membangun hubungan yang emosional.

Ketiga. Hm. Apa ya. Tentang bintang. How useful to convert their heat into source of electricity? Tapi bukan tentang itu. Tentang harapan. Tentang bagaimana orang-orang tanpa harapan bekerja layaknya zombie. Langkah teratur penuh kantuk dengan kepala tertunduk. Dan tentang bahwa objek indah seperti bintang (atau yang lain yang disediakan alam untuk sekadar sightseeing) membuat kita berharap, membuat kita mengenang sesuatu, juga tentang kenangan yang tidak selamanya harus kita tanggalkan dan tinggalkan. Mengatur kenangan menjadi harapan dan mimpi indah mungkin boleh dilakukan ketika kita merasa lelah dan hilang arah. The stars will guide you home (maybe yes, maybe no). Kenangan adalah pengalaman, pendidikan. Kenangan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dengan apa kita sekarang. Semua orang bergantung kepada kenangannya (meskipun kita punya tendensi untuk mengubah kenangan jadi lebih baik di otak kita) dan gue harap.. our memories will do us a good thing.

Keempat, tentang kematian adalah kepastian. Kehilangan adalah hal yang tidak bisa dihindari. We’ll have to deal with losing. Gue suka bahwa The Little Prince menyukai matahari terbenam. Ada kalanya ditinggalkan atau kehilangan, namun dengan cara yang tepat yang menjadikannya indah. 

(Seperti lulus, misalnya, uhuk)

Kelima. Apa ya. Udah kali ya. Sebetulnya waktu nonton sih ada banyak yang kayaknya nyelip di pinggir-pinggir otak. Cuma ya.. ya.. udah lupa juga kali ya.. Anyway, gue suka sih sama animasinya, gimana ya, cantik aja gitu. Dan endingnya, meskipun gue denger dari temen gue katanya endingnya kurang.. gimana ya.. tapi buat gue ending film-nya sangat menarik. 

(Sebagian besar sih karena gue ga ngerti ending bukunya)

Ya udah, itu aja rant gue tentang The Little Prince. Ada beberapa bagian yang memang belum gue ngerti. Tapi, siapa tau kan, seiring berjalannya waktu gue akan ngerti. Karena, dari yang gue alami, buku The Little Prince mungkin bukan bacaan anak-anak; ketika yang ngerasa tersentuh adalah orang-orang dewasa, ketika gue ngerasa ceritanya yang klasik justru bisa sangat relevan dengan beberapa keadaan masa kini.