Jumat, 31 Maret 2017

Finale.


Sebelum semuanya menghilang dan menjadi kabur, kuputuskan untuk menulis.

Jakarta, Samarinda, Damai, Senyiur, dan Muara Ancalong. Tempat hatiku terpecah dan tekadku melemah namun disaat yang bersamaan semua terasa menyenangkan.

19.10.16
“Tiket turun? Serius tiket turun?”

Sebuah pertanyaan yang dijawab dengan anggukan dan print bukti tiket menunjukkan penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Sepinggan, Balikpapan untuk esok hari. Pukul 18.00 kuselesaikan kegiatan mengajarku dari tempat les, mengingat belum ada satu baju pun yang masuk ke dalam tasku. Berburu waktu menuju rumah.

Semuanya terjadi cepat dan mendesak. Seperti baju-baju yang dengan lekas memadat memenuhi carrier merah milik bersama. Sepasang sepatu baru yang bukti pembeliannya adalah pukul 21.00 di tempat penjualan barang-barang lapangan terdekat dari rumahku. Izin yang baru dikantongi tadi siang. Dan esok pagi, perjalanan baru di mulai.

20.10.16
Pukul 11.00 kami sudah boarding, meninggalkan orangtua yang mengantar. Cemas dan antusias. Langkah besar dan tergesa kami menderap di Terminal 3 Bandara hari itu. Menunggu pesawat udara yang akan mendaratkan kami ke pulau seberang, pulau yang dilintasi khatulistiwa, Borneo, Kalimantan.

Dua jam berada dalam pesawat kami sampai pukul 14.30 waktu setempat. Menunggu jemputan sembari memakan roti O yang biasa kami makan sambil menunggu KRL di Jakarta. Tapi ini? Di seberang pulau, menuju tempat dimana cerita baru dimulai.

Perjalanan Balikpapan – Samarinda memakan waktu kira kira 3 jam. Kami sampai di penginapan pukul 18.30. Setelah makan malam dan jalan-jalan sedikit kami menemukan diri kami terlalu lelah dan memutuskan untuk menyimpan tenaga untuk besok.

21.10.16
Kami berangkat usai sarapan, beberapa menit sebelum pukul 08.00. Bus sampai pada jam makan siang di Kota Bangun. Melewati beberapa hutan produksi yang tinggal bukit-bukit gundul dan satu hutan milik sebuah Universitas di daerah tersebut. Dari Kotabangun perjalanan kami terus berlanjut menuju Jembatan Liang, Danau Semayang, terus menuju Desa Kembang Janggut.

Sudah sore ketika kami sampai di Desa Kembang Janggut. Kami masih harus menyeberangi Sungai Belayan (salah satu anak Sungai Mahakam). Kemudian sampai di Damai, Kantor Konservasi sebuah Perusahaan Kelapa Sawit dengan menggunakan motor sekitar 20 menit kemudian.

Kami bertemu dengan Manager, mendiskusikan beberapa hal, mengistirahatkan kaki baru kemudian menuju rumah sementara kami. Di rumah baru kami langsung menyiapkan barang-barang penelitian kami.

22.10.16
Keesokan harinya kami masih beristirahat. Di sore hari kami memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar kawasan tempat kami tinggal. Melihat warehouse, gudang ini dan itu, kantor, waduk, dan kebun-kebun sawit yang membentang luas. Pada malam hari kami mengobrol dengan Bapak Manager yang main-main ke rumah (sementara kami)

23.10.16
Hari ini kantor libur. Tapi kami kedatangan tamu di rumah. Bapak C yang katanya hadir dari perusahaan tetangga. Asing, tapi kamar di rumah kami masih tersisa satu. Kami mengobrol dengan Bapak tersebut hingga lama, yang ternyata merupakan perantau dan memiliki rumah di Bogor, tempat kami biasa main.

24.10.16 – 30.10.16
Penelitian M mulai. Kedatangan Bapak A dari Jakarta. Rapat, kesepakatan, timeline, beberapa urusan. Minggu diakhiri dengan kepulangan Bapak A kembali ke Jakarta.

31.10.16
Penelitianku dimulai, menggunakan mobil aku berpindah dari Damai ke Senyiur (sekitar 2 jam perjalanan). Perjalanan yang membuatku sadar sepenuhnya akan fungsi seat-belt ketika kita naik mobil. Bersama dengan Bapak C, selaku supervisor di daerah terkait dan Mas I yang merupakan staff. Mengantarku menuju kediaman Bapak Ab dan keluarga di Desa Senyiur. Desa yang asing, bahasa yang tidak kukenal, struktur sosial yang sama sekali baru.

Sore itu, tepat setelah santai, aku ditemani Ibu berkeliling desa dan bertemu dengan Kepala Desa.

Malamnya, pernah kutemukan diriku sekaget itu. Sinyal handphone yang sama sekali tidak stabil, listrik yang hanya ada 6 jam, semua kebiasaan baru yang benar-benar baru untukku.

1.11.16 – 2.11.16
Penelitianku dimulai. Sekolah banjir karena air sedang naik juga adanya musim hujan. Banyak ikan. Sekolah didesa tempatku tinggal jauh dari sekolah-sekolah yang kalian rasakan dikota. Tapi anak-anak tepat menyenangkan dan kini desa terasa jauh lebih familiar.

3.11.16
Berpindah ke Desa Kelinjau Ulu, Muara Ancalong. Karena akses jalan sedang banjir kami menggunakan Ces (Ketinting) untuk tiga orang. Kami berangkat pukul 7 waktu setempat dan sampai pukul 9. Kebingungan melandaku bahwa nyaris setiap laki-laki dewasa di desa ini dapat mengemudikan perahu.

Kunjungan ke Kantor Desa baru ke sekolah. Satu-satunya sekolah Negeri di Kecamatan ini. Kuambil semua dataku. Meskipun ingin lama-lama disana, tapi keadaan cuaca tidak mendukung sehingga kami harus segera pulang hari itu juga.

4.11.16 – 9.11.16
Aku menghabiskan hari-hariku mengajar atau jalan-jalan ke danau dekat dengan hutan, samping pekuburan dengan pohon Kamboja besar di tengah. Memandangi monyet-monyet yang bergerak lincah kesana kemari. Menikmati pelosok desa dan menghitung rumah wallet menggunakan sepeda. Mengayuh sepeda hingga kaki sakit melewati banjir. Bercengkrama dengan guru dan warga sekitar. Menonton air sungai bergerak, naik-turun tiap hari. Tidur siang, membuat laporan dan susunan kegiatan. Berdiskusi dengan Bapak C. Memakan pisang goreng khas Kalimantan yang teramat enak. Memakan ikan Lais dengan sambal terasi yang sampai detik kata-kata ini kuketik aku tidak bisa lupa rasanya. Menelefon kerabat dan teman dekat sesekali. Ikut hari pasaran dengan Ibu. Menraktir Bapak C kopi kaleng. Bersepeda. Memandangi matahari dan awan terpantulkan oleh lapangan sekolah yang banjir. Memandangi hutan di seberang sungai. Memandangi perahu-perahu yang terbuat dari Meranti. Menginjakkan kaki di papan kayu Ulin yang berwarna hitam ketika tersiram air ketika aku wudhu atau mencuci.

Perpisahanku dilakukan dengan makan pisang goreng dan kerupuk ikan gabus yang kusuka.

Kembali ke Damai, bertemu dengan temanku kembali.

10.11.16 – 7.12.16
Dua kali camp, bertemu dengan murid-murid. Melemparkan orang ke kolam dan dilemparkan. Berenang di air warna coklat susu. Melewati sungai. Melihat hutan dibobol. Identifikasi tumbuhan dan kegiatan lapangan. Pengukuran sarang. Rindu keluarga. Menumpang mandi dan tidur di rumah orang lain. Makan bersama. Makan menggunakan daun. Memimpin acara. Bersenang-senang. Melihat api unggun. Tersiram air hujan, tertusuk duri, menggali pasak bumi. Memancing, menyalakan api, membakar ikan. Terlilit tali pancing, tertusuk bait, ekor ikan yang tersangkut di baju. Tidur siang di hammock. Berjalan-jalan di sekitar tempat tinggal. Menaiki motor. Jajan di pasar dan di warung. Mengobrol dan menyelesaikan perhitungan. Tersasar di hutan. Bersenang-senang. Menonton julang perut putih. Melihat bintang. Melihat kupu-kupu biru. Melewati jembatan gantung. Digigit semut dan nyamuk. Menanam pohon. Berlari, menikmati hidup, melihat bunga-bunga kuning dan anggrek. Dihadang ular. Naik motor jauh, mabuk kendaraan darat. Makan kepiting dan cumi-cumi. Membuat agar-agar dan kolak. Berjemur di bawah matahari. Membabat hama. Mencium bau kompos. Berjalan di malam hari dan di subuh pagi. Hari pasaran, makan bakso. Saat hal-hal kecil jadi terasa luar biasa.

8.12.16
Hari ini makan-makan perpisahan. Rumah tempat kami singgah cukup untuk banyak orang jadi kami mengundang semua orang di kantor, beserta keluarga. Di tempat yang jauh, anak-anak yang banyak di ruang tamu kami jadi seperti kumpul keluarga besar. Rasanya senang dan haru. Mereka mengantri saat kami bagikan es kiko yang kami beli banyak. Makan besar, meminum big cola ukuran besar. Senang. Berfoto bersama.

9.12.16
Final presentation. Terus pas udah selesai kami galau bertiga. Unable to explain what are we feeling. Akhirnya kami tidur-tiduran di halaman rumah yang dimatiin semuanya, bertiga, nonton film dari laptop. Menatap langit bertaburan bintang yang terang.

10.12.16
Usai jam kerja, kami dibagi souvenir, surat selesai sudah diberikan, juga tiket pulang. Kami berfoto bersama. Tapi hari itu tidak selesai disitu. Kami bergegas ke Tenggarong, wisata. Jalan yang harus kami tempuh untuk sampai Tenggarong kira-kira 6 jam menggunakan motor. That’s the first long ride I’ve ever experienced. Gila.

11.12.16
Kami di Tenggarong, usai sarapan kami bergegas ke Pulau Kumala. Kemudian ke Museum Mulawarman dan belanja oleh-oleh. Sampai di rumah, mandi, kemudian saking lelahnya begitu diajak mengobrol orang rumah dari Mas U sampai-sampai harus ngeles ingin shalat tapi tidak keluar kamar lagi. I slept for 8 hours straight. That was super tiring.

12.12.16
Hari esoknya sedikit gerimis. Kami sarapan di teras belakang di atas papan-papan kayu Ulin, menggosok batu, dan menggiring ayam kembali ke kandang. Kemudian jajan. Mengunjungi Museum Kayu dan ke Ladaya. Kemudian pulang dan kembali ke Damai menjelang pukul 4 sore.

Perjalanan panjang. Ban bocor sekali di tengah jalan yang sepi. Syukurnya kami tidak jadi berjalan melainkan menumpang mobil ke warung terdekat baru kemudian melanjutkan perjalanan setelah terhambat dua jam.

Kami sampai Damai setengah 12 setelah bocor ban sekali lagi dan tas jatuh berlumuran lumpur serta gerimis menyertai kami.

13.12.16
Tidak banyak yang kami lakukan, aura perpisahan terasa. Kami mengunjungi beberapa orang yang kami rasa spesial. Hari itu selesai begitu saja.

14.12.16
Perjalanan kembali pulang. Setelah keterlambatan bus di Kotabangun kami sampai di Samarinda pada pukul setengah enam sore. Selesai menaruh barang di kamar kami bergegas pergi, melihat Samarinda di malam hari. Mampir ke Islamic Center Samarinda kemudian beli oleh-oleh di satu-satunya toko oleh-oleh di Jl. Pangeran Antasari, all on feet. Kami pulang jam 21.00 waktu setempat. Makan malam kemudian setelah membereskan packingan dan mengobrol kami tidur pukul 24.00.

15.12.16
Pagi bangun dan bersiap. Makan terakhir (untuk saat ini) di Pulau tersebut, sebelum kembali ke tanah Jawa. Pengharapan. Mobil bergegas berangkat dari Balikpapan ke Samarinda, hujan besar, pohon tumbang, tapi kami sampai Bandara Sepinggan tepat sesuai harapan. Kemudian boarding dengan sedikit foto dan badan yang terlampau lelah.

Langit luas dan meninggalkan daratan Kalimantan. Setelah dua jam kurang lebih, aku bisa melihat Teluk Jakarta yang kukenal. Tanah Jawa, daratan Jakarta. Tempat orang-orang yang kusayangi tinggal.

Jalan pulang lambat. Jumat sore macet seperti Jakarta yang selalu kukenal. Turun dari Damri di Rawamangun, Adik yang telat jemput meminta uang untuk ulang tahun Ibu. Mobil Grab menjemput dan setelah melewati macet di jalan-jalan familiar aku sampai di rumah. Jakarta and its convenience.

Rabu, 08 Februari 2017

i

I barely know you at first

2
We partnered in the same team for the very first our batch field trip. I remember you, standing tall, handling things ever so calmly. Having an opposite way of working; since I was so panicky—and hurried in doing things. Well, at least we know each other.

3
I remember refusing a new position for me. The one who coordinated the entire program for welcoming the new applicant for our organization. But you, carefully agreed. And so, we began the journey. I remembered having mental breakdown while organizing the event. It’s the first time I cry for an hour straight in front of everyone who attended the meeting. But, we become close anyway.

4
I don’t know. I lost track on how many times I’ve been partnering with you in every kind of occasion in college. Perhaps like three or four; I don’t recall.

5
The big journey. I’m always your dearest and favorite staff around, right? You praised my works, I’ve always admired you—from the very start. We’ve been doing things together. I kinda know you, a little closer.

6
Things escalated quickly. We appointed as the candidates. You need me as your head staff. I said no, convincing you that my father is super-sick, and I need to be the head of my family, had no spare time for this organization. I was so messed up. You frowned; and said that you were no better. But you still trust me anyway, offering yourself as a backup—in the end, I couldn’t say no.

7
Perhaps this is where I started to have different feelings. We grew even closer since 5 happened. We’ve always had a nice conversation for every time we met. Yet I’m not really sure since I know you had someone so dear for yourself. I even know her, not so close to call her best friend but I guess we’re a close one. I thought to myself; you are better not falling; or you will be the one who suffer.

8
I forgot things for a while. The final task is killin’ us. Placed in different region we rarely contact each other.

9
You remember every details. When I cried so hard on 3, when we were doing things in 5, the conversation we had at 7. You even asked the basic necessities I ought to bring each time we explore the woods; an inhaler because I had severe allergy attack at 6 (well I remembered you watching cautiously as I being treated). You noticed the scars on my hand; the one that I get because of accompanying your special one doing research; the new one I got because I was so passed out at nap. You noticed the rash I got after my research. You noticed almost everything that my best-friend does not know for even a bit.

Then the moment.

We sat beside each other for a long bus ride. I keep myself awake just for the sake not sleeping in your shoulder. But then I think, the convos we had make me realized that I’ve been falling for you.

-

"Life has a way of going in circles. Ideally, it would be a straight path forward––we'd always know where we were going, we'd always be able to move on and leave everything else behind. There would be nothing but the present and the future. Instead, we always find ourselves where we started. When we try to move ahead, we end up taking a step back. We carry everything with us, the weight exhausting us until we want to collapse and give up."

"We forget things we try to remember. We remember things we'd rather forget. The most frightening thing about memory is that it leaves no choice. It has mastered an incomprehensible art of forgetting. It erases, it smudges, it fills in blank spaces with details that don't exist."

"But however we remember it––or choose to remember it––the past is the foundation that holds our lives in place. Without its support, we'd have nothing for guidance. We spend so much time focused on what lies ahead, when what has fallen behind is just as important. What defines us isn't where we're going, but where we've been. Although there are places and people we will never see again, and although we move on and let them go, they remain a part of who we are."

"There are things that will never change, things we will carry along with us always. But as we venture into the murky future, we must find our strength by learning to leave things behind."

― Brigid Gorry-Hines