Sebelum semuanya menghilang dan
menjadi kabur, kuputuskan untuk menulis.
Jakarta, Samarinda, Damai,
Senyiur, dan Muara Ancalong. Tempat hatiku terpecah dan tekadku melemah namun
disaat yang bersamaan semua terasa menyenangkan.
19.10.16
“Tiket turun? Serius tiket turun?”
Sebuah pertanyaan yang dijawab
dengan anggukan dan print bukti tiket menunjukkan penerbangan dari Bandara
Soekarno Hatta menuju Bandara Sepinggan, Balikpapan untuk esok hari. Pukul
18.00 kuselesaikan kegiatan mengajarku dari tempat les, mengingat belum ada
satu baju pun yang masuk ke dalam tasku. Berburu waktu menuju rumah.
Semuanya terjadi cepat dan
mendesak. Seperti baju-baju yang dengan lekas memadat memenuhi carrier merah
milik bersama. Sepasang sepatu baru yang bukti pembeliannya adalah pukul 21.00
di tempat penjualan barang-barang lapangan terdekat dari rumahku. Izin yang
baru dikantongi tadi siang. Dan esok pagi, perjalanan baru di mulai.
20.10.16
Pukul 11.00 kami sudah boarding,
meninggalkan orangtua yang mengantar. Cemas dan antusias. Langkah besar dan
tergesa kami menderap di Terminal 3 Bandara hari itu. Menunggu pesawat udara
yang akan mendaratkan kami ke pulau seberang, pulau yang dilintasi
khatulistiwa, Borneo, Kalimantan.
Dua jam berada dalam pesawat kami
sampai pukul 14.30 waktu setempat. Menunggu jemputan sembari memakan roti O
yang biasa kami makan sambil menunggu KRL di Jakarta. Tapi ini? Di seberang
pulau, menuju tempat dimana cerita baru dimulai.
Perjalanan Balikpapan – Samarinda
memakan waktu kira kira 3 jam. Kami sampai di penginapan pukul 18.30. Setelah
makan malam dan jalan-jalan sedikit kami menemukan diri kami terlalu lelah dan
memutuskan untuk menyimpan tenaga untuk besok.
21.10.16
Kami berangkat usai sarapan,
beberapa menit sebelum pukul 08.00. Bus sampai pada jam makan siang di Kota
Bangun. Melewati beberapa hutan produksi yang tinggal bukit-bukit gundul dan
satu hutan milik sebuah Universitas di daerah tersebut. Dari Kotabangun perjalanan
kami terus berlanjut menuju Jembatan Liang, Danau Semayang, terus menuju Desa
Kembang Janggut.
Sudah sore ketika kami sampai di
Desa Kembang Janggut. Kami masih harus menyeberangi Sungai Belayan (salah satu anak
Sungai Mahakam). Kemudian sampai di Damai, Kantor Konservasi sebuah Perusahaan
Kelapa Sawit dengan menggunakan motor sekitar 20 menit kemudian.
Kami bertemu dengan Manager,
mendiskusikan beberapa hal, mengistirahatkan kaki baru kemudian menuju rumah
sementara kami. Di rumah baru kami langsung menyiapkan barang-barang penelitian
kami.
22.10.16
Keesokan harinya kami masih
beristirahat. Di sore hari kami memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar kawasan
tempat kami tinggal. Melihat warehouse, gudang ini dan itu, kantor, waduk, dan
kebun-kebun sawit yang membentang luas. Pada malam hari kami mengobrol dengan
Bapak Manager yang main-main ke rumah (sementara kami)
23.10.16
Hari ini kantor libur. Tapi kami
kedatangan tamu di rumah. Bapak C yang katanya hadir dari perusahaan tetangga.
Asing, tapi kamar di rumah kami masih tersisa satu. Kami mengobrol dengan Bapak
tersebut hingga lama, yang ternyata merupakan perantau dan memiliki rumah di
Bogor, tempat kami biasa main.
24.10.16 – 30.10.16
Penelitian M mulai. Kedatangan
Bapak A dari Jakarta. Rapat, kesepakatan, timeline, beberapa urusan. Minggu
diakhiri dengan kepulangan Bapak A kembali ke Jakarta.
31.10.16
Penelitianku dimulai, menggunakan
mobil aku berpindah dari Damai ke Senyiur (sekitar 2 jam perjalanan). Perjalanan
yang membuatku sadar sepenuhnya akan fungsi seat-belt ketika kita naik mobil. Bersama
dengan Bapak C, selaku supervisor di daerah terkait dan Mas I yang merupakan
staff. Mengantarku menuju kediaman Bapak Ab dan keluarga di Desa Senyiur. Desa
yang asing, bahasa yang tidak kukenal, struktur sosial yang sama sekali baru.
Sore itu, tepat setelah santai,
aku ditemani Ibu berkeliling desa dan bertemu dengan Kepala Desa.
Malamnya, pernah kutemukan diriku
sekaget itu. Sinyal handphone yang sama sekali tidak stabil, listrik yang hanya
ada 6 jam, semua kebiasaan baru yang benar-benar baru untukku.
1.11.16 – 2.11.16
Penelitianku dimulai. Sekolah
banjir karena air sedang naik juga adanya musim hujan. Banyak ikan. Sekolah
didesa tempatku tinggal jauh dari sekolah-sekolah yang kalian rasakan dikota.
Tapi anak-anak tepat menyenangkan dan kini desa terasa jauh lebih familiar.
3.11.16
Berpindah ke Desa Kelinjau Ulu,
Muara Ancalong. Karena akses jalan sedang banjir kami menggunakan Ces
(Ketinting) untuk tiga orang. Kami berangkat pukul 7 waktu setempat dan sampai
pukul 9. Kebingungan melandaku bahwa nyaris setiap laki-laki dewasa di desa ini
dapat mengemudikan perahu.
Kunjungan ke Kantor Desa baru ke
sekolah. Satu-satunya sekolah Negeri di Kecamatan ini. Kuambil semua dataku.
Meskipun ingin lama-lama disana, tapi keadaan cuaca tidak mendukung sehingga
kami harus segera pulang hari itu juga.
4.11.16 – 9.11.16
Aku menghabiskan hari-hariku
mengajar atau jalan-jalan ke danau dekat dengan hutan, samping pekuburan dengan
pohon Kamboja besar di tengah. Memandangi monyet-monyet yang bergerak lincah
kesana kemari. Menikmati pelosok desa dan menghitung rumah wallet menggunakan
sepeda. Mengayuh sepeda hingga kaki sakit melewati banjir. Bercengkrama dengan
guru dan warga sekitar. Menonton air sungai bergerak, naik-turun tiap hari.
Tidur siang, membuat laporan dan susunan kegiatan. Berdiskusi dengan Bapak C. Memakan
pisang goreng khas Kalimantan yang teramat enak. Memakan ikan Lais dengan
sambal terasi yang sampai detik kata-kata ini kuketik aku tidak bisa lupa
rasanya. Menelefon kerabat dan teman dekat sesekali. Ikut hari pasaran dengan
Ibu. Menraktir Bapak C kopi kaleng. Bersepeda. Memandangi matahari dan awan
terpantulkan oleh lapangan sekolah yang banjir. Memandangi hutan di seberang
sungai. Memandangi perahu-perahu yang terbuat dari Meranti. Menginjakkan kaki
di papan kayu Ulin yang berwarna hitam ketika tersiram air ketika aku wudhu
atau mencuci.
Perpisahanku dilakukan dengan
makan pisang goreng dan kerupuk ikan gabus yang kusuka.
Kembali ke Damai, bertemu dengan
temanku kembali.
10.11.16 – 7.12.16
Dua kali camp, bertemu dengan
murid-murid. Melemparkan orang ke kolam dan dilemparkan. Berenang di air warna
coklat susu. Melewati sungai. Melihat hutan dibobol. Identifikasi tumbuhan dan
kegiatan lapangan. Pengukuran sarang. Rindu keluarga. Menumpang mandi dan tidur
di rumah orang lain. Makan bersama. Makan menggunakan daun. Memimpin acara.
Bersenang-senang. Melihat api unggun. Tersiram air hujan, tertusuk duri,
menggali pasak bumi. Memancing, menyalakan api, membakar ikan. Terlilit tali
pancing, tertusuk bait, ekor ikan yang tersangkut di baju. Tidur siang di
hammock. Berjalan-jalan di sekitar tempat tinggal. Menaiki motor. Jajan di
pasar dan di warung. Mengobrol dan menyelesaikan perhitungan. Tersasar di
hutan. Bersenang-senang. Menonton julang perut putih. Melihat bintang. Melihat
kupu-kupu biru. Melewati jembatan gantung. Digigit semut dan nyamuk. Menanam
pohon. Berlari, menikmati hidup, melihat bunga-bunga kuning dan anggrek.
Dihadang ular. Naik motor jauh, mabuk kendaraan darat. Makan kepiting dan
cumi-cumi. Membuat agar-agar dan kolak. Berjemur di bawah matahari. Membabat
hama. Mencium bau kompos. Berjalan di malam hari dan di subuh pagi. Hari
pasaran, makan bakso. Saat hal-hal kecil jadi terasa luar biasa.
8.12.16
Hari ini makan-makan perpisahan.
Rumah tempat kami singgah cukup untuk banyak orang jadi kami mengundang semua
orang di kantor, beserta keluarga. Di tempat yang jauh, anak-anak yang banyak
di ruang tamu kami jadi seperti kumpul keluarga besar. Rasanya senang dan haru.
Mereka mengantri saat kami bagikan es kiko yang kami beli banyak. Makan besar,
meminum big cola ukuran besar. Senang. Berfoto bersama.
9.12.16
Final presentation. Terus pas
udah selesai kami galau bertiga. Unable to explain what are we feeling. Akhirnya
kami tidur-tiduran di halaman rumah yang dimatiin semuanya, bertiga, nonton
film dari laptop. Menatap langit bertaburan bintang yang terang.
10.12.16
Usai jam kerja, kami dibagi
souvenir, surat selesai sudah diberikan, juga tiket pulang. Kami berfoto bersama.
Tapi hari itu tidak selesai disitu. Kami bergegas ke Tenggarong, wisata. Jalan
yang harus kami tempuh untuk sampai Tenggarong kira-kira 6 jam menggunakan
motor. That’s the first long ride I’ve ever experienced. Gila.
11.12.16
Kami di Tenggarong, usai sarapan
kami bergegas ke Pulau Kumala. Kemudian ke Museum Mulawarman dan belanja
oleh-oleh. Sampai di rumah, mandi, kemudian saking lelahnya begitu diajak
mengobrol orang rumah dari Mas U sampai-sampai harus ngeles ingin shalat tapi
tidak keluar kamar lagi. I slept for 8 hours straight. That was super tiring.
12.12.16
Hari esoknya sedikit gerimis.
Kami sarapan di teras belakang di atas papan-papan kayu Ulin, menggosok batu,
dan menggiring ayam kembali ke kandang. Kemudian jajan. Mengunjungi Museum Kayu
dan ke Ladaya. Kemudian pulang dan kembali ke Damai menjelang pukul 4 sore.
Perjalanan panjang. Ban bocor
sekali di tengah jalan yang sepi. Syukurnya kami tidak jadi berjalan melainkan
menumpang mobil ke warung terdekat baru kemudian melanjutkan perjalanan setelah
terhambat dua jam.
Kami sampai Damai setengah 12
setelah bocor ban sekali lagi dan tas jatuh berlumuran lumpur serta gerimis
menyertai kami.
13.12.16
Tidak banyak yang kami lakukan,
aura perpisahan terasa. Kami mengunjungi beberapa orang yang kami rasa spesial.
Hari itu selesai begitu saja.
14.12.16
Perjalanan kembali pulang.
Setelah keterlambatan bus di Kotabangun kami sampai di Samarinda pada pukul
setengah enam sore. Selesai menaruh barang di kamar kami bergegas pergi,
melihat Samarinda di malam hari. Mampir ke Islamic Center Samarinda kemudian
beli oleh-oleh di satu-satunya toko oleh-oleh di Jl. Pangeran Antasari, all on
feet. Kami pulang jam 21.00 waktu setempat. Makan malam kemudian setelah
membereskan packingan dan mengobrol kami tidur pukul 24.00.
15.12.16
Pagi bangun dan bersiap. Makan
terakhir (untuk saat ini) di Pulau tersebut, sebelum kembali ke tanah Jawa.
Pengharapan. Mobil bergegas berangkat dari Balikpapan ke Samarinda, hujan
besar, pohon tumbang, tapi kami sampai Bandara Sepinggan tepat sesuai harapan. Kemudian
boarding dengan sedikit foto dan badan yang terlampau lelah.
Langit luas dan meninggalkan
daratan Kalimantan. Setelah dua jam kurang lebih, aku bisa melihat Teluk
Jakarta yang kukenal. Tanah Jawa, daratan Jakarta. Tempat orang-orang yang
kusayangi tinggal.
Jalan pulang lambat. Jumat sore
macet seperti Jakarta yang selalu kukenal. Turun dari Damri di Rawamangun, Adik
yang telat jemput meminta uang untuk ulang tahun Ibu. Mobil Grab menjemput dan
setelah melewati macet di jalan-jalan familiar aku sampai di rumah. Jakarta and
its convenience.