Sabtu, 04 Februari 2012

lupis pagi ini.

Lupis adalah penganan kecil yang kusuka. Pagi ini adikku membelinya dari penjaja favorit kami sekeluarga. Tapi, kami makan tak dalam formasi lima alias lengkap. Hanya formasi tiga dimana ada aku, adikku, dan ayahku.

Aku memindahkan satu potong penganan hijau berkelapa itu ke piring kecil, kemudian menumpahkan securah gula. Tak banyak--untuk ayahku yang kurang suka manis.

Saat itu,
Saat aku mengulurkan piring ke tanganmu. Begitu banyak kata yang ingin kusampaikan. Hal yang telah mengendap dalam dasar hatiku bertahun, menahun. Kemudian sekarang nyaris menguap dan harus dikeluarkan, hanya menunggu waktu yang tepat.

Ayah, aku ingin percakapan di antara kita esok hari sehangat lupis pagi ini. Disertai senyummu yang mengundang tawaku, selegit lupis pagi ini. Kemudian masalah kita pun selesai dengan cepat, secepat potongan terakhir lupis pagi ini kau lesakkan ke mulutmu. Dan manis, semanis air gula merah yang menyirami lupis pagi ini.

Ayah, semoga saja esok hari kau tak sekeras sendok logam yang dengan sigapnya memotong lupis pagi ini. Tak akan sebeku lupis pagi ini yang tadinya akan disimpan oleh adik dikulkas, kau tidak akan membatu dan kita tak berperang dingin.

Ayah, aku ingin pandang dan keinginan kita sama, searah, saling sokong dan dukung. Seperti segenap serutan kelapa di lupis pagi ini yang mengulir jatuh bersama ke piring karena siraman gula.

Semoga kau menerima pernyataan ku esok hari semudah kau mengatakan 'iya' untuk menjawab pertanyaan retorisku yang berbunyi 'tambah lagi lupisnya?' Haha, aku sangat tahu kau tak akan cukup dengan satu potong.

O, Ayah, aku sangat ingin, Ayah. Dan semoga semua keinginanku menjadi nyata, seperti lupis pagi ini yang nyata ada dan terasa memenuhi rongga perutku.