Jumat, 31 Maret 2017

Finale.


Sebelum semuanya menghilang dan menjadi kabur, kuputuskan untuk menulis.

Jakarta, Samarinda, Damai, Senyiur, dan Muara Ancalong. Tempat hatiku terpecah dan tekadku melemah namun disaat yang bersamaan semua terasa menyenangkan.

19.10.16
“Tiket turun? Serius tiket turun?”

Sebuah pertanyaan yang dijawab dengan anggukan dan print bukti tiket menunjukkan penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Sepinggan, Balikpapan untuk esok hari. Pukul 18.00 kuselesaikan kegiatan mengajarku dari tempat les, mengingat belum ada satu baju pun yang masuk ke dalam tasku. Berburu waktu menuju rumah.

Semuanya terjadi cepat dan mendesak. Seperti baju-baju yang dengan lekas memadat memenuhi carrier merah milik bersama. Sepasang sepatu baru yang bukti pembeliannya adalah pukul 21.00 di tempat penjualan barang-barang lapangan terdekat dari rumahku. Izin yang baru dikantongi tadi siang. Dan esok pagi, perjalanan baru di mulai.

20.10.16
Pukul 11.00 kami sudah boarding, meninggalkan orangtua yang mengantar. Cemas dan antusias. Langkah besar dan tergesa kami menderap di Terminal 3 Bandara hari itu. Menunggu pesawat udara yang akan mendaratkan kami ke pulau seberang, pulau yang dilintasi khatulistiwa, Borneo, Kalimantan.

Dua jam berada dalam pesawat kami sampai pukul 14.30 waktu setempat. Menunggu jemputan sembari memakan roti O yang biasa kami makan sambil menunggu KRL di Jakarta. Tapi ini? Di seberang pulau, menuju tempat dimana cerita baru dimulai.

Perjalanan Balikpapan – Samarinda memakan waktu kira kira 3 jam. Kami sampai di penginapan pukul 18.30. Setelah makan malam dan jalan-jalan sedikit kami menemukan diri kami terlalu lelah dan memutuskan untuk menyimpan tenaga untuk besok.

21.10.16
Kami berangkat usai sarapan, beberapa menit sebelum pukul 08.00. Bus sampai pada jam makan siang di Kota Bangun. Melewati beberapa hutan produksi yang tinggal bukit-bukit gundul dan satu hutan milik sebuah Universitas di daerah tersebut. Dari Kotabangun perjalanan kami terus berlanjut menuju Jembatan Liang, Danau Semayang, terus menuju Desa Kembang Janggut.

Sudah sore ketika kami sampai di Desa Kembang Janggut. Kami masih harus menyeberangi Sungai Belayan (salah satu anak Sungai Mahakam). Kemudian sampai di Damai, Kantor Konservasi sebuah Perusahaan Kelapa Sawit dengan menggunakan motor sekitar 20 menit kemudian.

Kami bertemu dengan Manager, mendiskusikan beberapa hal, mengistirahatkan kaki baru kemudian menuju rumah sementara kami. Di rumah baru kami langsung menyiapkan barang-barang penelitian kami.

22.10.16
Keesokan harinya kami masih beristirahat. Di sore hari kami memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar kawasan tempat kami tinggal. Melihat warehouse, gudang ini dan itu, kantor, waduk, dan kebun-kebun sawit yang membentang luas. Pada malam hari kami mengobrol dengan Bapak Manager yang main-main ke rumah (sementara kami)

23.10.16
Hari ini kantor libur. Tapi kami kedatangan tamu di rumah. Bapak C yang katanya hadir dari perusahaan tetangga. Asing, tapi kamar di rumah kami masih tersisa satu. Kami mengobrol dengan Bapak tersebut hingga lama, yang ternyata merupakan perantau dan memiliki rumah di Bogor, tempat kami biasa main.

24.10.16 – 30.10.16
Penelitian M mulai. Kedatangan Bapak A dari Jakarta. Rapat, kesepakatan, timeline, beberapa urusan. Minggu diakhiri dengan kepulangan Bapak A kembali ke Jakarta.

31.10.16
Penelitianku dimulai, menggunakan mobil aku berpindah dari Damai ke Senyiur (sekitar 2 jam perjalanan). Perjalanan yang membuatku sadar sepenuhnya akan fungsi seat-belt ketika kita naik mobil. Bersama dengan Bapak C, selaku supervisor di daerah terkait dan Mas I yang merupakan staff. Mengantarku menuju kediaman Bapak Ab dan keluarga di Desa Senyiur. Desa yang asing, bahasa yang tidak kukenal, struktur sosial yang sama sekali baru.

Sore itu, tepat setelah santai, aku ditemani Ibu berkeliling desa dan bertemu dengan Kepala Desa.

Malamnya, pernah kutemukan diriku sekaget itu. Sinyal handphone yang sama sekali tidak stabil, listrik yang hanya ada 6 jam, semua kebiasaan baru yang benar-benar baru untukku.

1.11.16 – 2.11.16
Penelitianku dimulai. Sekolah banjir karena air sedang naik juga adanya musim hujan. Banyak ikan. Sekolah didesa tempatku tinggal jauh dari sekolah-sekolah yang kalian rasakan dikota. Tapi anak-anak tepat menyenangkan dan kini desa terasa jauh lebih familiar.

3.11.16
Berpindah ke Desa Kelinjau Ulu, Muara Ancalong. Karena akses jalan sedang banjir kami menggunakan Ces (Ketinting) untuk tiga orang. Kami berangkat pukul 7 waktu setempat dan sampai pukul 9. Kebingungan melandaku bahwa nyaris setiap laki-laki dewasa di desa ini dapat mengemudikan perahu.

Kunjungan ke Kantor Desa baru ke sekolah. Satu-satunya sekolah Negeri di Kecamatan ini. Kuambil semua dataku. Meskipun ingin lama-lama disana, tapi keadaan cuaca tidak mendukung sehingga kami harus segera pulang hari itu juga.

4.11.16 – 9.11.16
Aku menghabiskan hari-hariku mengajar atau jalan-jalan ke danau dekat dengan hutan, samping pekuburan dengan pohon Kamboja besar di tengah. Memandangi monyet-monyet yang bergerak lincah kesana kemari. Menikmati pelosok desa dan menghitung rumah wallet menggunakan sepeda. Mengayuh sepeda hingga kaki sakit melewati banjir. Bercengkrama dengan guru dan warga sekitar. Menonton air sungai bergerak, naik-turun tiap hari. Tidur siang, membuat laporan dan susunan kegiatan. Berdiskusi dengan Bapak C. Memakan pisang goreng khas Kalimantan yang teramat enak. Memakan ikan Lais dengan sambal terasi yang sampai detik kata-kata ini kuketik aku tidak bisa lupa rasanya. Menelefon kerabat dan teman dekat sesekali. Ikut hari pasaran dengan Ibu. Menraktir Bapak C kopi kaleng. Bersepeda. Memandangi matahari dan awan terpantulkan oleh lapangan sekolah yang banjir. Memandangi hutan di seberang sungai. Memandangi perahu-perahu yang terbuat dari Meranti. Menginjakkan kaki di papan kayu Ulin yang berwarna hitam ketika tersiram air ketika aku wudhu atau mencuci.

Perpisahanku dilakukan dengan makan pisang goreng dan kerupuk ikan gabus yang kusuka.

Kembali ke Damai, bertemu dengan temanku kembali.

10.11.16 – 7.12.16
Dua kali camp, bertemu dengan murid-murid. Melemparkan orang ke kolam dan dilemparkan. Berenang di air warna coklat susu. Melewati sungai. Melihat hutan dibobol. Identifikasi tumbuhan dan kegiatan lapangan. Pengukuran sarang. Rindu keluarga. Menumpang mandi dan tidur di rumah orang lain. Makan bersama. Makan menggunakan daun. Memimpin acara. Bersenang-senang. Melihat api unggun. Tersiram air hujan, tertusuk duri, menggali pasak bumi. Memancing, menyalakan api, membakar ikan. Terlilit tali pancing, tertusuk bait, ekor ikan yang tersangkut di baju. Tidur siang di hammock. Berjalan-jalan di sekitar tempat tinggal. Menaiki motor. Jajan di pasar dan di warung. Mengobrol dan menyelesaikan perhitungan. Tersasar di hutan. Bersenang-senang. Menonton julang perut putih. Melihat bintang. Melihat kupu-kupu biru. Melewati jembatan gantung. Digigit semut dan nyamuk. Menanam pohon. Berlari, menikmati hidup, melihat bunga-bunga kuning dan anggrek. Dihadang ular. Naik motor jauh, mabuk kendaraan darat. Makan kepiting dan cumi-cumi. Membuat agar-agar dan kolak. Berjemur di bawah matahari. Membabat hama. Mencium bau kompos. Berjalan di malam hari dan di subuh pagi. Hari pasaran, makan bakso. Saat hal-hal kecil jadi terasa luar biasa.

8.12.16
Hari ini makan-makan perpisahan. Rumah tempat kami singgah cukup untuk banyak orang jadi kami mengundang semua orang di kantor, beserta keluarga. Di tempat yang jauh, anak-anak yang banyak di ruang tamu kami jadi seperti kumpul keluarga besar. Rasanya senang dan haru. Mereka mengantri saat kami bagikan es kiko yang kami beli banyak. Makan besar, meminum big cola ukuran besar. Senang. Berfoto bersama.

9.12.16
Final presentation. Terus pas udah selesai kami galau bertiga. Unable to explain what are we feeling. Akhirnya kami tidur-tiduran di halaman rumah yang dimatiin semuanya, bertiga, nonton film dari laptop. Menatap langit bertaburan bintang yang terang.

10.12.16
Usai jam kerja, kami dibagi souvenir, surat selesai sudah diberikan, juga tiket pulang. Kami berfoto bersama. Tapi hari itu tidak selesai disitu. Kami bergegas ke Tenggarong, wisata. Jalan yang harus kami tempuh untuk sampai Tenggarong kira-kira 6 jam menggunakan motor. That’s the first long ride I’ve ever experienced. Gila.

11.12.16
Kami di Tenggarong, usai sarapan kami bergegas ke Pulau Kumala. Kemudian ke Museum Mulawarman dan belanja oleh-oleh. Sampai di rumah, mandi, kemudian saking lelahnya begitu diajak mengobrol orang rumah dari Mas U sampai-sampai harus ngeles ingin shalat tapi tidak keluar kamar lagi. I slept for 8 hours straight. That was super tiring.

12.12.16
Hari esoknya sedikit gerimis. Kami sarapan di teras belakang di atas papan-papan kayu Ulin, menggosok batu, dan menggiring ayam kembali ke kandang. Kemudian jajan. Mengunjungi Museum Kayu dan ke Ladaya. Kemudian pulang dan kembali ke Damai menjelang pukul 4 sore.

Perjalanan panjang. Ban bocor sekali di tengah jalan yang sepi. Syukurnya kami tidak jadi berjalan melainkan menumpang mobil ke warung terdekat baru kemudian melanjutkan perjalanan setelah terhambat dua jam.

Kami sampai Damai setengah 12 setelah bocor ban sekali lagi dan tas jatuh berlumuran lumpur serta gerimis menyertai kami.

13.12.16
Tidak banyak yang kami lakukan, aura perpisahan terasa. Kami mengunjungi beberapa orang yang kami rasa spesial. Hari itu selesai begitu saja.

14.12.16
Perjalanan kembali pulang. Setelah keterlambatan bus di Kotabangun kami sampai di Samarinda pada pukul setengah enam sore. Selesai menaruh barang di kamar kami bergegas pergi, melihat Samarinda di malam hari. Mampir ke Islamic Center Samarinda kemudian beli oleh-oleh di satu-satunya toko oleh-oleh di Jl. Pangeran Antasari, all on feet. Kami pulang jam 21.00 waktu setempat. Makan malam kemudian setelah membereskan packingan dan mengobrol kami tidur pukul 24.00.

15.12.16
Pagi bangun dan bersiap. Makan terakhir (untuk saat ini) di Pulau tersebut, sebelum kembali ke tanah Jawa. Pengharapan. Mobil bergegas berangkat dari Balikpapan ke Samarinda, hujan besar, pohon tumbang, tapi kami sampai Bandara Sepinggan tepat sesuai harapan. Kemudian boarding dengan sedikit foto dan badan yang terlampau lelah.

Langit luas dan meninggalkan daratan Kalimantan. Setelah dua jam kurang lebih, aku bisa melihat Teluk Jakarta yang kukenal. Tanah Jawa, daratan Jakarta. Tempat orang-orang yang kusayangi tinggal.

Jalan pulang lambat. Jumat sore macet seperti Jakarta yang selalu kukenal. Turun dari Damri di Rawamangun, Adik yang telat jemput meminta uang untuk ulang tahun Ibu. Mobil Grab menjemput dan setelah melewati macet di jalan-jalan familiar aku sampai di rumah. Jakarta and its convenience.

Rabu, 08 Februari 2017

i

I barely know you at first

2
We partnered in the same team for the very first our batch field trip. I remember you, standing tall, handling things ever so calmly. Having an opposite way of working; since I was so panicky—and hurried in doing things. Well, at least we know each other.

3
I remember refusing a new position for me. The one who coordinated the entire program for welcoming the new applicant for our organization. But you, carefully agreed. And so, we began the journey. I remembered having mental breakdown while organizing the event. It’s the first time I cry for an hour straight in front of everyone who attended the meeting. But, we become close anyway.

4
I don’t know. I lost track on how many times I’ve been partnering with you in every kind of occasion in college. Perhaps like three or four; I don’t recall.

5
The big journey. I’m always your dearest and favorite staff around, right? You praised my works, I’ve always admired you—from the very start. We’ve been doing things together. I kinda know you, a little closer.

6
Things escalated quickly. We appointed as the candidates. You need me as your head staff. I said no, convincing you that my father is super-sick, and I need to be the head of my family, had no spare time for this organization. I was so messed up. You frowned; and said that you were no better. But you still trust me anyway, offering yourself as a backup—in the end, I couldn’t say no.

7
Perhaps this is where I started to have different feelings. We grew even closer since 5 happened. We’ve always had a nice conversation for every time we met. Yet I’m not really sure since I know you had someone so dear for yourself. I even know her, not so close to call her best friend but I guess we’re a close one. I thought to myself; you are better not falling; or you will be the one who suffer.

8
I forgot things for a while. The final task is killin’ us. Placed in different region we rarely contact each other.

9
You remember every details. When I cried so hard on 3, when we were doing things in 5, the conversation we had at 7. You even asked the basic necessities I ought to bring each time we explore the woods; an inhaler because I had severe allergy attack at 6 (well I remembered you watching cautiously as I being treated). You noticed the scars on my hand; the one that I get because of accompanying your special one doing research; the new one I got because I was so passed out at nap. You noticed the rash I got after my research. You noticed almost everything that my best-friend does not know for even a bit.

Then the moment.

We sat beside each other for a long bus ride. I keep myself awake just for the sake not sleeping in your shoulder. But then I think, the convos we had make me realized that I’ve been falling for you.

-

"Life has a way of going in circles. Ideally, it would be a straight path forward––we'd always know where we were going, we'd always be able to move on and leave everything else behind. There would be nothing but the present and the future. Instead, we always find ourselves where we started. When we try to move ahead, we end up taking a step back. We carry everything with us, the weight exhausting us until we want to collapse and give up."

"We forget things we try to remember. We remember things we'd rather forget. The most frightening thing about memory is that it leaves no choice. It has mastered an incomprehensible art of forgetting. It erases, it smudges, it fills in blank spaces with details that don't exist."

"But however we remember it––or choose to remember it––the past is the foundation that holds our lives in place. Without its support, we'd have nothing for guidance. We spend so much time focused on what lies ahead, when what has fallen behind is just as important. What defines us isn't where we're going, but where we've been. Although there are places and people we will never see again, and although we move on and let them go, they remain a part of who we are."

"There are things that will never change, things we will carry along with us always. But as we venture into the murky future, we must find our strength by learning to leave things behind."

― Brigid Gorry-Hines

Selasa, 12 April 2016

April

Weekend pertama di bulan April, gue jalan-jalan ke pulau. Kuliah lapangan dan ada Yule serta Me disitu. Dari mulai berhasil ngiden jenis (berdua) sama Yule, nemu jenis yang unik, kena getah Lannea, sampe kena semut bakau yang bikin gosong hingga gosong beneran pas berjemur nemenin anak-anak ngambil awetan alga. Bisa ngobrol banyak sama beberapa orang hebat. Having a good time sama temen-temen seangkatan yang ikut juga. Terus manjat tower untuk ngeliat sekeliling pulau yang katanya surganya burung. Kemudian nontonin sunset di pulau. Dan kuliah lapangan diakhiri dengan nongkrong di Ricis dalam keadaan sangat gembel, gosong, dan kepedesan. Walaupun konsekuensinya adalah meninggalkan beberapa kewajiban di belakang (revisi yang direncanakan maju per Senin tanggal 4).

Tapi, yah, dosennya aja kuliah lapangan, ngapain mikirin revisi. Tarakdungces.

I forgot to change the camera setting hff, hated the yellow datemark. A clear sky, offshore Jakarta.
Minggu berikutnya dimulai. Senin ngejar dosen, sampe nangis gara-gara suatu hal. Selasa ngejar lagi. Rabu ngejar lagi. Kamis ngejar lagi. Jumat ngejar lagi. Ditambah kewajiban rumah yang harus diurus karena mama sakit. Tenggorokan mulai gatel, langsung minum suplemen tiap hari dengan harapan jangan sampe ambruk di tanggal maju (Senin, 11 April 2016).

Sabtu full ngajar sampe nyaris tepar. Tepar parah. Minggu istirahat sambil ngurusin keperluan maju. Ada sesuatu yang bikin gonjang-ganjing karena nyaris aja besoknya batal maju karena penguji gue…baru nerima berkas in the very last minute.

Senin. D-day. Hari H-nya.

Akhirnya gue nyampe di tahap ini setelah ditinggal oleh nyaris setengah kelas. Meskipun hitungannya cepet juga karena gue baru sekitar 10 kali bimbingan, dengan 4 kali bimbingan sebelumnya terhitung hanya mikirin konsep.

Gue dateng sedikit meleset dari perkiraan (semeleset-melesetnya gue tetep aja kepagian). Langsung nyiapin ruangan bareng Deka. Nunggu temen seperjuangan yaitu Mai dan Aul yang sama nasibnya hari ini. Mai dateng, gladi bersih karena dia maju pertama. Kemudian Tante Aul yang dari tangga aja her heavy footsteps already could be heard clearly.

Mai maju setelah penonton cukup. Gue udah mau siap-siap ngafalin teks buat maju karena habis Aul gue bakal maju.

Aul maju.
(Saya grogi ketika diminta jadi pembimbing karena topik Aul ini sangat kontemporer, kekinian. Gils, Tante walopun perang dingin tapi jadi yang paling dibela sama Bapak A1)

Sampailah waktu harusnya gue maju. Tapi… penguji gue ga ada… gue hanya bisa merosot di kursi. Hafalan gue udah kesana kemari gatau lagi gimana. Nelfonin. SMS. WA.

Deka maju, karena penguji dia lengkap. Gue di longkap.

Dan gue ga ngerti lagi. Udah ga ada apa-apa lagi di pikiran gue. Kayaknya gue diundur atau maju dua kali. Entah seneng karena gue sama sekali ga ngafalin apa-apa, ataupun sedih karena gue gamau ketinggalan bareng temen-temen yang mau jalan bareng gue dan membuktikan Bapak A2 marah sama gue, serta gue gamau ngeluarin uang lagi buat konsum yang mihil.

Because duit ni habis kerana hanya untuk print sana-sini dan makanan.

Kemudian sekitar 10 menit sebelum waktu jatah Deka abis pas lagi dikomenin oleh pembimbingnya. Bapak A2 dateng.

Sumpah gue ga ngerti lagi.

Skip.

Akhirnya gue maju. And things go ever so smoothly.

It’s like the calm after the storm. Setelah gue berpusing-pusing berpanik-panik gue maju dengan sangat kalem. Kalem. Kalem banget. Atau saking stressnya gue mati rasa, gue gatau juga.

Kemudian semuanya selesai. Meninggalkan gue yang bawa revisian enam rangkap pake kantong kresek toko kue. Dengan sisa uang 30 ribu buat makan sama ongkos pulang. Dan beberapa teman baik yang tersisa, Uce, Yule, dan Afel.

Setelah Dzuhur yang kelewat siang gue makan Indomie telor paling enak dalam hidup gue sambil ngetawain temen yang salah beli warna lipstick. Tapi ya gitu, setelah gue ngobrol sama Aul, mengulang kembali ingatan gue tentang Me usai kejadian serupa. Ketawa tapi nyawa lo ga disana. Kehantui sama berbagai macam hal, entah itu revisian, ambil data, bahkan kelelahan karena ribetnya ngurusin tahapan ini.

Setelah Ashar yang kesorean juga gue sempet tidur-tiduran di MUA sama Aul. Baru kemudian memutuskan pulang.

It’s a hard day. Or it was another hard day. Tomorrow, we'll start anew.

"Tapi ini baru babak, belum belur, apalagi bilurnya." Bijak seorang teman. 

Minggu, 28 Februari 2016

The Little Prince

[keluar dari tumpukan revisi]

Tiga temen gue udah wisuda. Tiga lainnya udah nikah. Sekitar delapan orang udah seminar pra. Sementara gue masih begini-gini aja, lari dari kepahitan dan kepusingan sambil nulis entri baru buat blog.

Beberapa hari lalu gue nonton The Little Prince.. dan seperti biasa.. banyak hal yang bikin gue mikir kesana kemari. Selalu ada beberapa sisi setelah kita melihat segala sesuatu dari berbagai segi. Selalu.

Pertama gue kenal buku The Little Prince itu milik kakak sepupu gue. Edisi bahasa Indonesia yang terlalu mumet untuk dipahami sama anak umur 10 tahun. Tahun dan tahun berlalu, setelah gue mulai bisa dan biasa baca buku bahasa Inggris, gue penasaran sama buku tersebut dan baca edisi bahasa Inggrisnya di internet. Tiap chapter dengan rajin gue baca sebelum tidur. Kata-kata yang indah gue kutip. Kadang gue tulis ulang di catatan.

Karena penasaran, gue akhirnya baca buku edisi bahasa Indonesia. Singkat, mungkin dua / tiga jam selesai. Tapi gue masih lebih suka edisi bahasa Inggris. Dan mungkin kalo gue bisa bahasa Prancis (ngarep dulu yha) gue akan lebih suka itu.

Sebetulnya waktu trailer filmnya release gue bertekad dengan segala daya dan upaya harus nonton di bioskop. Karena banyak yang gatau filmnya, rata-rata temen nolak, dan karena jadwalnya agak miss sama jadwal gue akhirnya gue gak nonton juga. Yah, yaudah. Ngobatin sedih, gue dengerin soundtracknya, yang parararipurura itu (lupa judulnya apa) sama yang milik Gabrielle Aplin.

Ada satu temen nawarin ngopi film tersebut sekitar sebulan kemudian tapi guenya males jalan karena waktu itu lagi sibuk apa, gitu. Mau download sendiri juga mager. Akhirnya gue ngopi sama temen kampus seminggu lalu secara kebetulan, barter sama program SPSS yang nangkring di laptop gue sejak entah kapan.

Oiya, balik lagi. Ada beberapa pikiran, renungan tentang film itu. Intinya disitu.

Satu. Mungkin benar bahwa di mata kanak-kanak, orang dewasa itu membingungkan. Penuh dengan kehati-hatian yang tidak jelas makna dibaliknya apa. Terutama rutinitas. Rutinitas adalah bagian dari kehidupan. Makan, tidur, kerja, kuliah / sekolah—gak ada waktu have fun dengan diri sendiri. Ga ada lagi waktu-waktu baca novel sambil begadang-begadang. Kita terlalu sibuk begadang untuk kerjaan dan mengabaikan kesenangan diri kita. Kita lelah. Kemudian mencari kesenangan yang juga berupa rutinitas lain, window shopping di mall, stuffing good food di mulut, ketika kita tahu; bahwa yang kita butuhkan adalah waktu refleksi, being alone with your own self, being comfy in your very own shell, self.

Banyak pertanyaan, seperti mau kerja dimana, mau lulus kapan, gimana revisi. Dan lain-lain. Dan. Lain. Lain.

Dua. Bagian paling gue suka dari The Little Prince adalah tentang membangun ikatan (to establish ties), tentang berteman, tentang meletakkan kepercayaan pada seseorang, tentang cinta. Sekarang, hal semacam itu terasa makes sense. Ketika pertemanan atau hubungan bukan lagi terjadi begitu saja. Ada keperluan bahwa hubungan manusia antar manusia itu memang harus dijaga dan dipertahankan. Baik dengan teman, kolega, pacar, juga keluarga. Gue suka bagaimana The Little Prince menggambarkan ke-universal-an perasaan. Bahwasanya, perasaan itu bukan lagi hal yang rumit, melainkan jelas polanya meskipun berada dalam bentuk yang berbeda-beda.

(Yaiyalah kan ga mungkin juga di dunia nyata gue temenan sama rubah dan punya kekasih hati yang ephemeral laiknya bunga mawar) (Mungkin juga sih, kenapa lumut itu unik buat gue sementara yang lain engga soale gue telah putting effort to understand them all too well) (Yha) (Kemana-mana) (Ya inilah paradoks mahasiswa biologi)

Kemudian tentang indahnya perasaan. Ada sesuatu tentang angkuhnya mawar yang tetap membuat ia tetap harus dicintai, ada suatu kecurigaan tentang rubah yang tetap membuat ia tetap jadi teman dari si Pangeran. If you love someone’s good sides, you have to withstand their bad sides too. Karena orang-orang terdekat lo selalu datang dalam paket lengkap yang didalamnya ada baik dan buruk sekaligus. Kalo kata buku detektif lama yang duluuu banget gue baca: “Orang itu bukan sekaleng cat yang kalau putih, putih semua dalam satu kaleng. Atau hitam, hitam semua dalam satu kaleng. Orang ya pasti selalu punya banyak sisi, bahkan lebih dari sekedar hitam atau pun putih.”

(Sepakat. Way to describe people is: Hundred shades of grey)

Dan tangisan. You run the risk of weeping a little, if you let yourself get tamed. Itulah yang terjadi di beberapa bagian dari hubungan emosional. We get emotional. We cry, a lot, a little. We just can’t help it. We get sad when they’re sad, sick, also tired. Bahwa kesedihan adalah efek samping yang terjadi ketika membangun sebuah hubungan. Bahwa kesedihan adalah hal nyata ketika membangun hubungan yang emosional.

Ketiga. Hm. Apa ya. Tentang bintang. How useful to convert their heat into source of electricity? Tapi bukan tentang itu. Tentang harapan. Tentang bagaimana orang-orang tanpa harapan bekerja layaknya zombie. Langkah teratur penuh kantuk dengan kepala tertunduk. Dan tentang bahwa objek indah seperti bintang (atau yang lain yang disediakan alam untuk sekadar sightseeing) membuat kita berharap, membuat kita mengenang sesuatu, juga tentang kenangan yang tidak selamanya harus kita tanggalkan dan tinggalkan. Mengatur kenangan menjadi harapan dan mimpi indah mungkin boleh dilakukan ketika kita merasa lelah dan hilang arah. The stars will guide you home (maybe yes, maybe no). Kenangan adalah pengalaman, pendidikan. Kenangan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dengan apa kita sekarang. Semua orang bergantung kepada kenangannya (meskipun kita punya tendensi untuk mengubah kenangan jadi lebih baik di otak kita) dan gue harap.. our memories will do us a good thing.

Keempat, tentang kematian adalah kepastian. Kehilangan adalah hal yang tidak bisa dihindari. We’ll have to deal with losing. Gue suka bahwa The Little Prince menyukai matahari terbenam. Ada kalanya ditinggalkan atau kehilangan, namun dengan cara yang tepat yang menjadikannya indah. 

(Seperti lulus, misalnya, uhuk)

Kelima. Apa ya. Udah kali ya. Sebetulnya waktu nonton sih ada banyak yang kayaknya nyelip di pinggir-pinggir otak. Cuma ya.. ya.. udah lupa juga kali ya.. Anyway, gue suka sih sama animasinya, gimana ya, cantik aja gitu. Dan endingnya, meskipun gue denger dari temen gue katanya endingnya kurang.. gimana ya.. tapi buat gue ending film-nya sangat menarik. 

(Sebagian besar sih karena gue ga ngerti ending bukunya)

Ya udah, itu aja rant gue tentang The Little Prince. Ada beberapa bagian yang memang belum gue ngerti. Tapi, siapa tau kan, seiring berjalannya waktu gue akan ngerti. Karena, dari yang gue alami, buku The Little Prince mungkin bukan bacaan anak-anak; ketika yang ngerasa tersentuh adalah orang-orang dewasa, ketika gue ngerasa ceritanya yang klasik justru bisa sangat relevan dengan beberapa keadaan masa kini.