Jumat, 16 Agustus 2013

satu.

Ia pelan-pelan merapatkan hatinya yang berserakan di jalan pulang, memeluk ransel coklatnya erat-erat, menahan air matanya agar tidak jatuh dan menahan kedua lututnya di posisi biasa, tidak melekat pada dadanya. Satu titik di dadanya sakit, letaknya secara imajiner adalah tepat di antara vena pulmonalis dengan serambi kiri jantungnya. Meski ia tahu letaknya imajiner, tapi tetap saja rasa sakit itu nyata, setiap denyut jantungnya terasa sakit, setiap helaan nafasnya terasa pedih. Sepertinya darah sudah naik hingga ke tenggorokan kemudian mencekat jalan nafasnya.

Bahkan Ia takut jika tiba-tiba darah menetes dari hidungnya atau pori kulitnya. Ia urung menangis, khawatir yang turun dan ia usap oleh tangannya adalah cairan merah berbau besi.

Jakarta tidak pernah lagi menikmati hujan. Tapi berbeda dengan sore hari ini, sepertinya langit setuju ada sesuatu yang patut ditangisi. Bahkan sepertinya langit lebih tahu apa yang harus ditangisi dibandingkan dengan Ia. Udara dingin sore itu menembus jaket ungunya, lebih piawai dari yang Ia ketahui, melewati jendela bus yang sengaja dibuka lebar-lebar.

Lagi-lagi Ia berharap darah tidak merembes dari pori kulitnya, Ia cemas jaketnya berubah warna menjadi merah, begitu pula dengan tasnya.

Sesuatu dalam hatinya Ia tidak tahu, Ia tidak mengerti mengapa rasanya jadi sesulit serumit ini. Bukankah kita semua teman?

Ia tidak tahu. Ia lagi-lagi tidak tahu. Ia terlalu kacau untuk mendefinisikannya.

Yang Ia tahu jika mereka bertengkar karena Api, maka Api itu telah padam. Tidak ada lagi Api. Dan bukankah dengan itu semua seharusnya semakin sederhana?

Katanya individu pemaaf adalah yang terbaik. Apa itu hanya berupa pertanyaan yang lagi-lagi perlu untuk dijawab?

Perlukah?

Ia lagi-lagi benci tatapan-tatapan yang mengutarakan ‘tidak ada apa-apa’ atau ‘tidak, tidak terjadi apa-apa’ sungguh Ia mungkin tidak mengerti, tapi sungguh pula Ia dikaruniai indera. Ia mencandra tatapan-tatapan, nada perkataan. Ia tahu sesuatu tidak berjalan seperti biasanya. Tapi Ia, lagi-lagi, tetap, tergugu tidak mengerti. Tidak bisa menyimpulkan apa sesungguhnya yang inderanya bicarakan.

Semua itu menghancurkan hatinya, menjadi jutaan partikel yang Ia harapkan Ia tidak pernah menyatukannya kembali.

Tapi,
Katanya lagi,
Teman sesungguhnya akan menunggu di balik jalinan-jalinan takdir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar