Senin, 21 Juli 2014

jumbled words

Fantasy
“Right when you think it’s over, that’s when it starts to hover.”
“Just accept that sometimes, there is a sadness that can’t be erased.”
“When it rains, you get wet. When the wind blows, you shake. It can’t go any other way. Yeah, it’s natural.”

Disowned Memories
“A short excerpt of memory in my worn out drawer.”
“I want to think of you for the very last time, but..”
“You.”

History of Silence
“I’m just a little tired. Everyone goes through this. Can’t you just comfort me?”
“Even if they are common words. I should’ve said that I wanted you to stay.”

Four Times Around the Sun
“While earth went four times around the sun. I longed for you and shed tears hundreds of times. I longed for you and erased you hundreds of times. Even after the long time passes and the earth goes ten times around the sun.”

Grey zone
“I want you so much closer than this. But we are so much better, when we are not together.”

Newton’s Apple
“It was like a roller coaster ride of never ending questions.”
“Like Newton’s apple hit the ground, my gravity always lean towards you.”
“When you are breaking in denial. I will be the one to hold you.”
“And I’ll burn for you. Each and every part of me belongs to you. When you’re in your darkest hour. I’ll put them all on fire and guide you.”

Night of Rebirth
“The weak and struggling days, those days are over.”

The Great Escape
“My faith is in danger, shaking like a candle light.”
“Whether it’s temptation or a threat, the thing I’m sure of I’m always standing opposite of my sincerity.”
“Trapped in between self-pity and hatred. I trap all of myself in regret.”
“In between the cracks of my heart here and there. The shadows of despair silently seeps through.”

Dear Genovese
“I’m losing myself in the thick darkness.”
“I was living on while turning away from everything.”

Sunshine
“Don’t argue. Because there’s no one to listen anymore.”
“Don’t argue. Because you’re not the only one struggling.”

Blue
“I hear the rain clashing against the river. It rings through the clogged up city. The moonlight is hidden by the clouds.”
“Tangled up in blue.”
“The night scene is drenched with rain. The numerous lights are smearing. Was this always this beautiful?”

Ocean of Light
“I’m in the ocean of light.”

*) I currently listen to Nell's Newton's apple and got distracted by most of the songs
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Ia tidak mempercepat langkahnya malam itu. There’s still plenty of time left. Setidaknya untuk dirinya sendiri. Perutnya penuh dengan cola dan beberapa jenis makanan juga asam lambung. Beberapa waktu lalu senyum dan tawa tidak luput dari wajahnya. Tapi, di dalam hatinya sendiri ia merasa kosong. Seperti kepompong yang ditinggal sang kekupu pergi. Melompong.

Entahlah. Tiga hari ini semua tidak berjalan dengan baik-baik saja. Acaranya diundur. Ia harus pasang badan dan tebal telinga menghadapi segala komentar. Bibirnya lelah mengutarakan argumen yang bukan merupakan pilihannya. Hari ini pun masih harus menghadapi hal-hal yang membuatnya  menyumpahi setiap organisme hidup di dunia.

Sepatunya basah karena tersiram air. Spasi yang kurang sedikit. Bahkan bersalaman dengan orang lain membuat telapak tangannya memiliki garis merah melintang karena jarum. Tidak berdarah, tapi terasa pedih.

Kakinya masih melangkah. Dari sudut matanya lampu malam Jakarta berkaburan di kanan dan kiri jalan. Semua jenis kendaraan bermata merah, mengantri untuk keluar dari jalan. Orang-orang bersenda gurau, bahagia. Ia merasa seperti gelas eskrim yang berisi kebahagiaan tumpah hingga kosong karena sang pemilik tersandung di jalan. Kebahagiaannya kini tumpah ruah di jalan yang dingin sementara sang gelas.. kosong.. kemudian terinjak oleh orang yang melintas di jalanan.

Ah.

Ia berbicara pada supir tunawicara untuk tahu jalan pulang. Tiba-tiba merasa nyaman dengan kehadiran sang supir. Begitu saja. Kadang rasa tidak perlu pembicaraan. Malam mulai merasuk. Beberapa penumpang turun satu per satu. Kini hanya tersisa tiga penumpang di bus tersebut. Jalan pulang laiknya korek api yang dua per tiga bagiannya sudah hangus terbakar ketika hujan turun dan menderas.

Wiper bus bergerak ke kanan dan ke kiri. Tampak gelisah. Tapi ia merasa semakin tenang. Semuanya terasa benar. Setidaknya untuk hatinya. Tetes-tetes air membentur jendela bus, menganak-sungai kemudian jatuh bak air mata. Setidaknya jadi perwakilan untuk air matanya yang tak kunjung turun. Seberapapun sakit hatinya.

Halte pemberhentian. Ia melangkahkan kakinya keluar dari bus. Orang-orang membuka payung dengan cepat, bergantian, seperti musim yang menyebabkan bunga-bunga mekar tiba-tiba. Ia membuka payungnya. Melangkah, menjauh.

Jalanan lebar itu lengang. Sangat lengang hingga ia bisa mendengarkan tiap-tiap rintik hujan membasahi payungnya. Ia berjalan. Berjalan lagi. Dan terus berjalan. Hingga jalanan tersebut berkelok dan terbagi menjadi anak-jalan yang jauh lebih kecil dan lebih lengang. Hingga ia bisa memiliki kesimpulan bahwa hanya orang-orang dermawan yang menyalakan lampu terang di malam seperti ini.

Hujan menderas. Ia berbelok, memutar. Ia tidak ingin pulang. Tapi ia sudah begitu dekat dengan tujuannya, pulang. Ia merasakan hujan di telapaknya yang terluka. Perih. Tidak berdarah, tapi perih. Seperti hatinya.

Perlahan tapi pasti, ia sadar ia hanya berkeliling di sekitar rumahnya. Tak lama usai belokan demi belokan membuat pikirannya semakin lurus cahaya terang datang dengan tiba-tiba. Ia tahu rumah tempatnya pulang sangat dermawan. Cahaya terang bukanlah masalah besar.

Ia pulang.

Tangannya sakit. Kakinya sakit. Dadanya sakit.

Tapi setidaknya, kini kata-kata telah menjadi jalan, bukan lagi simpul-simpul gagal terurai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar